Meleburnya Perempuan di Kancah Publik

Dalam sejarahnya perempuan Indonesia, khususnya perempuan Jawa, mendapatkan tempat yang sangat tidak menguntungkan. Perempuan-perempuan tidak diperkenankan untuk menikmati udara bebas. Remaja putri dipingit di dalam rumah, para istri hanya memiliki 3 aktivitas. 3M; macak (bersolek), masak (memasak), manak (melahirkan). Hanya sedikit perempuan yang memiliki kesempatan untuk “mengintip” dunia luar, mendapatkan “sedikit” akses pendidikan, bersosialisasi dengan dunia luar, serta melihat betapa nikmatnya menjadi “perempuan lain” di luar. Perempuan-perempuan pribumi yang “kebetulan” tergolong dalam kelompok bangsawan.
Hanya segelintir perempuan “beruntung” di zaman penjajahan yang memiliki keprihatinan atas nasib kaum perempuan lainnya. Minoritas perempuan bangsawan yang tidak banyak. Sangat tidak imbang jika dibandingkan banyaknya perempuan yang tidak mendapatkan “keberuntungan itu (bahkan tidak menyadari betapa mereka berhak hidup seperti itu).
Seperti R.A Kartini, seorang anak bangsawan Jawa yang merasa risau akan nasib kaum perempuan. Bagaimana ketika dia merasa ngilu manakala ia dapat mengakses pendidikan, namun tidak memiliki rekanan untuk mendialogkan, mengkaji, serta mendiskusikan ilmunya dengan perempuan-perempuan lainya. Karena memang tidak memungkinkan untuk berdiskusi antara perempuan dengan laki-laki, mereka bilang saru, tidak sopan. Hingga cita-cita untuk mendarmakan ilmunya untuk perempuan melalui sekolah perempuan yang didirikannya benar-benar terwujud.

PEREMPUAN DI KANCAH PUBLIK, SALAHKAH?
Masa yang sedemikian kelam bagi perempuan telah lewat. Perempuan dapat memiliki banyak akses sesuai kebutuhannya. perempuan tidak hanya disibukkan dengan aktifitas domestik saja. Lebih dari yang diimpikan R.A Kartini misalnya. Perempuan tidak hanya dapat mengakses pendidikan, tetapi perempuan juga bisa menjadi pemimpin, dokter, ilmuwan, dan sebagainya.
Suatu kemajuan yang patut disyukuri sebenarnya. Namun jauh dari hal di atas sebenarnya mengganjal satu hal. Apakah benar kesempatan-kesempatan yang diperoleh perempuan tadi 100% positif tanpa celah dan kekurangan? Atau justru menimbulkan masalah-masalah baru?.
Diantara masalah yang timbul dari satu tahap kesetaraan gender tadi adalah beban ganda bagi perempuan. Dengan ilmu yang telah diperoleh perempuan menuntut perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya berdasarkan disiplin ilmu yang telah mereka geluti. Mereka yang belajar di kedokteran tidak akan rela ilmunya terbuang percuma dengan hanya berdiam diri dirumah. Perempuan yang belajar di dunia kepolisian tidak betah berdiam diri di rumah melihat banyaknya tindak kejahatan di sekitarnya. Begitu pula yang belajar tentang perbankan, merekapun akan berusaha sedemikian rupa untuk tidak mensia-siakan ilmu yang telah mereka peroleh.
Sedangkan di rumah mereka juga memiliki tanggung jawab yang tidak kalah berat, dari memasak, membersihkan rumah, mengurus segala keperluan anak serta suami, mencuci dan menyetrika pakaian, semua pekerjaan rumah tangga. Bagaimana lelahnya perempuan yang harus bertanggung jawab di sektor domestik rumah tangga serta pekerjan mereka di luar rumah.
Selain itu jika di suatu keluarga laki-laki tidak memiliki pekerjaan atau berpenghasilan lebih rendah daripada perempuan juga menjadi masalah tersendiri. Banyak rumah tangga yang berantakan karena hal ini. Perempuan menjadi semaunya sendiri. Tidak jarang para suami mendapatkan kekerasan verbal dari sang istri dalam posisi seperti ini. Perempuan menjadi sedemikian angkuhnya, hingga banyak kasusu perceraian yang berawal dari penghasilan suami yang lebih rendah dibanding istrinya. Seperti salah satu kasus rumah tangga dalam acara reality show salah satu televisi swasta sekitar satu tahun yang lalu.
Selain itu sebenarnya terdapat korban lain pula. Anak. Secara psikis anak perkembangan anak akan terganggu ketika terjadi hal yang tidak mengenakkan di sekitarnya. Kedua orang tua yang selalu sibuk dengan berbagai pekerjaan masing-masing dengan melewatkan perkembangan anak-anaknya. Perhatian yang anak-anak butuhkan dari kedua orang tuanya diganti dengan berbagai fasilitas yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak tersebut. Para orang tua alpa bahwa sebenarnya anak-anak mereka juga membutuhkan perhatian serta kasih sayang orang tuanya, bukan banyak materi yang telah orang tua mereka berikan.
Seorang anak usia SD yang jarang bertemu dengan ayahnya pernah berbicara kepada saya, “sebenarnya kalau saya boleh memilih saya akan memilih bapak ada disebelah saya dengan tanpa uang dan apapun itu. Dari pada saya mendapatkan harta yang berlimpah tapi harus jauh dari orang tua saya”. Tidak hanya itu, prestasi sekolahnya pun menurun drastis sejak frekwensi bertemunya anak tersebut dengan orang tuanya semakin berkurang.
Sebenarnya tidak ada konsep yang salah selama tidak memakan korban. Begitu pula dengan isu kesetaraan gender. Isu gender yang selama ini mengusung keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sepertinya cenderung mereduksi hanya bagaiman perempuan memperoleh keadilan dan kesetaraan posisi dengan laki-laki, namun sedikit mengabaikan tentang bagaimana imbas isu tersebut terhadap laki-laki maupun anak dalam instisusi rumah tangga. Keadilan yang telah diperjuangkan di satu sisi justru memunculkan ketidak adilan baru di sisi yang lain.

ADAKAH ALTERNATIF LAIN?
Sebenarnya isu-isu kesetaraan gender telah membawa satu perkembangan besar bagi perempuan Indonesia. Perempuan tidak hanya terkungkung dalam wilayah domestik rumah tangga. Namun pada perkembangannya keikutsertaan perempuan dalam berbagai persaingan di wilayah publik menimbulkan banyak dampak negatif, khusunya perrmasalahan-permasalahan sepeutar rumah tangga. Dalam hal ini isu beban ganda kembali di usung para pengkaji gender untuk memperoleh keadilan atas hak-hak perpempuan.
Semuanya terus berkembang, tidak ada satu pengetahuan yang salah. Karena memeang is terus berkembang. Begitu pula dengan isu-isu gender. Pada awalnya yang ingin mengangkat derajat kaum perempuan, sekarang justru menjadi legitimasi bagi perempuan-perempuan egois yang dengan mengatasnamakan kesetaraan gender justru menimbulkan ketidakadilan baru. Ketidakadilan yang mengorbankan suami, anak, rumah tangganya.
Terlalu mundur kebelakang jika “ salah atau tidak jika perempuan bergabung di kancah publik”. Karena jika di jawab dengan kata “salah” maka kita akan mendapati perempuan Indonesia yang tidak diberi akses pendidikan yang kemudian hanya sekedar menjadi pelengkap isi rumah. Hanya bergelut di wilayah domestik. Harus merawat anak tanpa tahu bagaimana sebenarnya merawat anak yang baik.
Menurut saya bagaimana kesempatan perempuan untuk keluar dari sangkar domestik namun tidak menimbulkan efek negatif bagi keluarga. Terkait dengan beban ganda seyogyanya laki-laki dan perempuan membangun komitmen untuk tidak membaratkan satu pihak. Perlu dibangun satu komunikasi untuk juga merubah pandangan laki-laki bahwa tidak salah jika laki-laki juga bertanggung jawab untuk bergelut di wilayah domestik rumah tangga.
Dalam instisusi rumah tangga seharusnya dibangun kesadaran bahwa suami dan istri adalah partner dalam urusan domestiknya, harus saling bekerja sama dan saling menghargai. Partner yang harus kompak untuk melangsungkan kehidupan rumah tangganya, untuk sama-sam ertanggung jawab atas perkembangan anak-anaknya. Lagi-lagi harus dibangun komunikasi yang efektif bagi keduanya atas nasib keluarganya ini. Perempuan tidak lebih rendah jika memang dia memilih untuk hanya bekerja di wilayah domestik rumah tangga saja. Juga tidak berarti lebih baik perempuaan bekerja di wilayah publik saja. Dan belum tentu menjadi sebuah kesempurnaan jika perempuan memiliki dua tanggung jawab di kedua wilayah tadi. Asal telah dibangun kesepakatan yang dinilai adil bagi keduanya. Setidaknya ini adalah kerja tim rumah tangga yang sukses dan tidaknya tim itu tergantung atas bagaimana kerja sama yang dibangun oleh kedua belah pihak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Entah,

setekah sekian lama tak berkisah